Umat Islam kembali dihina. Kehadiran film Innocence of Muslims
di YouTube telah menimbulkan aksi demonstrasi umat Islam di bebagai
penjuru dunia. Meski telah menimbulkan korban, termasuk Duta Besar AS
untuk Libya, J. Christopher Stevens (12/9) lalu, tetapi tak membuat
musuh-musuh Islam itu berhenti, apalagi takut mendiskreditkan Islam dan
Nabi Muhammad SAW.
Bahkan seminggu sesudahnya (19/9), mereka kembali berulah. Koran mingguan Prancis, Charlie Hebdo, menerbitkan
karikatur yang menunjukkan seorang Yahudi Ortodoks tengah mendorong
tokoh yang menggunakan surban dan kursi roda. Beberapa gambar justru
diduga menjurus kepada Nabi Muhammad.
Kita masih ingat 4 tahun lalu (28/3 2008), muncul
film dokumenter ”Fitna” karya seorang anggota parlemen sayap kanan
Belanda, Greet Wilders, menggambarkan Islam sebagai ‘agama kekerasan’.
Sebelumnya, 30 September 2005, diterbitkan pula 12 karikatur Nabi
Muhammad di harian Jylliands-Posten Denmark.
Anehnya, negara-negara yang
mengaku demokratis, menjunjung tinggi nilai HAM, dan berperadaban
tinggi itu tidak mengambil tindakan yang berarti. Seakan orang yang
menghina itu dilindungi, atas nama kebebasan berekspresi.
Penghinaan yang menyita
perhatian publik juga pernah terjadi pada tahun 1988 oleh Salman
Rushdie dengan novelnya yang berjudul “The Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan). Dalam novel ini ia menggambarkan Muhammad sebagaimana mitos yang berkembang di Barat.
Muhammad diceritakan sebagai
seorang penipu ulung, hanya berambisi politik, seorang bernafsu yang
menggunakan wahyu-wahyu sebagai lisensi untuk mendaparkan sebanyak
mungkin perempuan yang diinginkannya. Sahabat-sahabat awal juga
dilukiskan sebagai orang-orang yang tidak berguna. Judul “Ayat-ayat
Setan” juga merupakan pencemaran terhadap integritas Al-Quran yang
dianggap tidak mampu membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Lagi-lagi kasus ini tidak jelas ujungnya, meski Imam Ayatullah Khomeini
telah memfatwakan untuk menghukum mati Rushdie.
Lalu muncul pertanyaan,
kenapa mereka terus menghina umat Islam dengan mencela Nabi Muhammad
SAW? Apakah karena kita telah menjadi umat yang lemah lalu bisa
dipermainkan? Dimanakah pertolongan dan pembelaan Allah kepada umat
yang mengakui-Nya sebagai Tuhan Pencipta?
Pertanyan-pertanyaan itu
sering kali muncul di tengah-tengah masyarakat. Banyak analisis, mulai
masyarakat awam hingga kaum intelektual. Ada yang berpendapat karena
golongan mereka (Yahudi Nashrani) memang tidak akan pernah senang
melihat umat ini kecuali kita tunduk dan ikut pada kelompok mereka. Maka
dipopulerkanlah ayat-ayat Al-Quran, terutama surat al-Baqarah ayat 120.
Ada pula yang berpendapat
bahwa pertikaian ini lebih dipicu karena faktor politik. Mereka
memandang umat Islam sebagai satu kekuatan yang ditakutkan dapat
mengancam kedikdayaannya. Sammuel P. Huntingtin, misalnya, dalam
tesisnya “Clash Civilization”, memprediksikan akan terjadi benturan peradaban antara Barat dengan dunia Islam.
Karena itu, muncul berbagai
upaya dari sekelompok orang untuk melakukan pencitraan negatif terhadap
umat Islam. Umat Islam pun dicitrakan sebagai penganut agama teroris,
agama yang disebarkan dengan pedang, antipati terhadap demokrasi dan
kebebasan, serta berpikir jumud dan ketinggalan zaman.
Upaya pencitraan itu
dilakukan dengan berbagai cara, baik berupa pemikiran maupun aksi-aksi
yang merekayasa peristiwa tertentu untuk melecehkan umat Islam. Dari
segi pemikiran, misalnya, mereka menulis buku-buku tentang Islam dari
sudut pandang negatif.
Jauh sebelumnya, pencitraan
negatif terhadap Islam itu juga dilakukan oleh ilmuan dan tokoh agama,
seperti Thomas Aquinas (1226 – 1274). Montgomery Watt menyimpulkan
Aquinas menulis empat citra negatif tentan Islam, yaitu: pertama, Islam
adalah agama yang keliru dan merupakan permutarbalikkan yang sengaja
terhadap kebenaran Kristen; kedua, Islam adalah agama yang disebarkan
melalui kekerasan dan pedang; ketiga, Islam adalah agama hawa nafsu; dan
keempat, Muhammad adalah anti Kristus.
Bentuk aksi lain yang mereka
lakukan adalah mengkondisikan umat Islam menjadi marah membabi buta
sehingga keadaan itu meligitimasi fitnah yang sebelumnya telah disebar;
umat Islam sebagai kelompok teroris dan suka kekerasan. Seperti kasus
terakhir, film innocence of Muslim dan karikatur Muhammad di Mingguan Prancis itu.
Terlepas dari analisis di
atas, patut pula kita renungkan peristiwa sahabat-sahabat Nabi SAW yang
memperoleh kekalahan pada Perang Uhud. Padahal sebelumnya, hanya dengan
jumlah yang relatif sedikit bisa meraih kemenangan Perang Badar.
Perasaan umat Islam ketika itu digambarkan dalam al-Qur’an: “Dan
mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu
(pada peperangan Badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan)
ini” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Qs. Ali Imran: 165)
Agaknya, umat Islam dewasa
ini pun merasakan perasaan yang sama. Seakan kita merasa kalah dengan
hegemoni Barat sehingga sebagian mereka tak henti-hentinya menghina dan
melecehkan umat Islam. Padahal dulu, umat Islam pernah berjaya dan tak
tertandingi. Tak ada yang berani menghina umat Islam kala itu. Namun,
kejayaan khilafah Abbasiyah di Timur dan khilafah Umayyah di Barat
(Andalusia-Spanyol) hanya menjadi romantisme sejarah.
Lalu ada yang bertanya,
kenapa kita kalah? Kenapa umat ini tak lagi bangkit dan tampil terdepan,
atau paling tidak sejajar dengan negara-negara maju lainnya? Mana
pertolongan-Nya?
Ayat di atas menjawab: “itu dari (kesalahan) dirimu sendiri!”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Dan apabila kaum muslimin lemah, sehingga musuh berhasil menguasai
mereka, hal ini adalah disebabkan dosa dan kesalahan-kesalahan mereka,
apakah karena lalainya mereka dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang
lahir maupun yang bathin atau karena kesewenang-wenangan mereka
melanggar batasan-batasan Allah SWT yang lahir atau yang batin”.
Ibnul Qayyim pun berkata:
“Sungguh demi Allah, tidaklah musuh bertindak sewenang-wenang kepadamu
kecuali setelah Allah SWT yang telah berpaling darimu, maka jangan kamu
kira bahwa setan (musuh-musuh Islam) yang menang, melainkan Dzat Maha
Pelindung yang meninggalkanmu”.
Pernyataan ini sejatinya
menggugah hati nurani kita. Penghinaan dan pelecehan orang-orang yang
membenci Islam bukanlah mengindikasikan mereka telah menang. Tetapi
karena umat ini lemah, tak bersatu, dan masih cenderung pada dunia.
Islam cuma pengakuan, belum jadi kepribadian.
Lihatlah negara ini. Allah
anugerahkan kondisi alam yang subur dengan kekayaannya yang melimpah.
Allah juga memberi hidayah kepada orang-orang terdahulu untuk mengakui
agama-Nya sehingga keturunannya masih mengaku muslim. Umat Islam pun
menjadi kelompok mayoritas.
Namun apa yang terjadi? Korupsi menjadi-jadi. Hukum Tuhan ditinggalkan. Dan umat pun tercerai-berai.
Umat Islam kehilangan
pemimpin. Tak ada pimpinan umat Islam yang representatif. Ketua
Muhammadiyah hanya bagi kalangan Muhammadiyah. Pimpinan NU juga bagi
kalangan Nahdhiyyin. MUI, fatwa-fatwanya pun tak dihargai.
Bahkan lembaga negara,
seperti kementerian agama pun tak ditaati. Ada yang beranggapan, negara
ini bukan negara Islam maka tak perlu ditaati; ada pula yang pesimis
karena kecewa terhadap oknum di dalamnya yang tak luput dari kasus
korupsi.
Lain lagi dengan kasus
pembiaran terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, tetapi
perilakunya justru memperburuk citra Islam.
Bagaimana mungkin umat ini akan bangkit dan maju?
Oleh karena itu, penistaan
agama yang dilakukan mereka sejatinya menjadi bahan intropeksi diri
bagi umat Islam. Umat ini harus segera berbenah secara internal. Jangan
memperalat agama untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok.
Jangan pula menebar
kebencian berlebihan terhadap agama tertentu. Karana tak satu pun ajaran
agama yang menghalalkan penghinaan agama lain, termasuk Kristen dan
Yahudi. Seandainya ada agama yang mengajarkan demikian, tentulah agama
itu ditinggalkan oleh orang-orang yang berakal.
Dan yang terpenting lagi,
siapkan generasi muslim yang bermartabat dan terhormat. Untuk
mempersiapkan generasi yang berkualitas itu harus dimulai dari keluarga
dan memperbaiki sistem pendidikan, terutama pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan Islam
harus melakukan reformulasi dan reorientasi sehingga mampu menghasilkan
out put yang berkualitas; menguasai sains dan teknologi dengan basis
keislaman. Berbagai bidang keilmuan sejatinya dikuasai oleh umat Islam
sehingga kita tidak tertinggal. Dengan begitu umat ini akan memiliki
posisi tawar. Pihak lain pun tak seenaknya melakukan penghinaan dan
penistaan.
Penghinaan itu juga harusnya
menjadi triger bagi umat untuk bersatu. Ketika menghadapi musuh Islam,
butuh kesatuan dan persatuan, lupakan perbedaan. Jika aturan-aturan
Allah komitmen ditegakkan, agama-Nya diperjuangkan, silaturrahim
dieratkan, maka pertolongan Allah pun akan datang. Sebaliknya, ketika
kita tak lagi menolong agama-Nya, maka pastilah Dia meninggalkan kita.
Sumber: http://padangekspres.co.id