Selasa, 17 April 2012

Kedudukan Wanita di Dalam Islam

Sering orang yang tidak paham ajaran Islam menganggap Islam merendahkan kaum wanita. Padahal itu tidak benar. Islam justru memuliakan kaum wanita.

Saat seorang lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad, kepada siapa dia harus berbakti, Nabi Muhammad menjawab kepada ibunya. Pertanyaan yang sama diajukan 3x, jawaban tetap sama, yaitu: ibu. Baru pada pertanyaan ke 4 Nabi menjawab: kepada ayah.

Itu menandakan posisi seorang ibu (wanita) di atas seorang ayah (lelaki) di dalam Islam:
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik? Rasulullah saw. menjawab:
Ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian
ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab lagi: Kemudian ayahmu. (Shahih Muslim No.4621)

Ada lagi hadits yang menyebut Surga di bawah telapak kaki ibu. Meski ada yang bilang itu hadits dhoif, namun pada dasarnya Islam sangat memuliakan ibu. Sehingga durhaka kepadanya adalah satu dosa besar.
Kenapa kita harus memuliakan ibu? Jawabnya ada di Al Qur’an:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Dalam berbagai ayat Al Qur’an, kata pria dan wanita selalu disebut berdampingan. Misalnya “Muslimiin wal Muslimaat” (Muslim lelaki dan Muslim perempuan), “Mu’miniin wal mu’minaat” (Mukmin pria dan Mukmin perempuan), dsb di dalam surat Al Ahzab 35.

Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa Islam tak adil karena dalam hal warisan, wanita hanya dapat 1 bagian sementara pria dapat 2 bagian. Bagian wanita lebih sedikit. Itu pendapat yang keliru.

Dalam Islam, wanita berhak menerima mahar dan juga menerima nafkah dari suaminya. Sedangkan pria, dia berkewajiban memberi mahar dan juga nafkah bagi istrinya. Jadi seandainya pria dapat 2, pria tersebut harus memberi 1-2 bagian yang dia dapat sementara wanita tidak ada kewajiban memberikan hartanya kepada suaminya. Jadi tak ada yang dirugikan di situ. Secara matematis, seorang wanita akhirnya dapat 2 bagian sementara lelaki bisa jadi hanya 1 bahkan tidak ada.

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..” [An Nisaa' 4]
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” [An Nisaa' 34]

Tentu saja itu implikasinya adalah seorang suami adalah pemimpin rumah tangganya. Bukan sebaliknya. Janggal rasanya jika istri yang bekerja di kantor mencari nafkah, sementara suaminya di rumah mengurus rumah tangga.

Jangan anggap bahwa dengan diangkatnya pria sebagai pemimpin, maka wanita direndahkan. Bukan itu. Bagaimana pun juga dalam 1 kumpulan itu harus ada 1 pemimpin agar teratur. Entah itu dalam negara, propinsi, kota, kelas, dan juga dalam rumah tangga. Allah sudah menetapkan itu agar tidak ada “perebutan kekuasaan”…

Meski ibu kita Kartini menyerukan emansipasi atau persamaan hak, bukan berarti wanita harus sama persis dengan pria. Ibarat sepatu, keduanya kiri semua. Tidak ada yang kanan. Akhirnya malah tidak lengkap dan tidak bisa dipakai.

Tetap ada perbedaan antara pria dan wanita, paling tidak dari segi fisiknya. Tidak mungkin saat di rumah ada maling, suami menyuruh istrinya untuk menghadapi maling tersebut. Keduanya harus saling melengkapi.
Seorang istri, hendaknya tinggal di rumah mendidik anak-anaknya dan mengatur rumah tangganya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”

Seandainya berbisnis, hendaknya seorang wanita berbisnis dari rumahnya. Banyak para istri yang berbisnis dari rumahnya seperti usaha catering dsb dan justru penghasilannya justru lebih besar dari suaminya dan bisa membantu anak-anaknya bersekolah dan kuliah. Itu lebih baik ketimbang bekerja di kantor atau sebagai buruh dengan gaji yang kecil. Sudah waktu terbuang, keluarga terbengkalai, hasilnya juga tidak seberapa.

Siti Khadijah adalah seorang pebisnis yang tangguh. Beliau melakukan ekspor/impor hingga ke Suriah. Namun yang keluar memimpin dagang adalah Nabi Muhammad yang kemudian jadi suaminya.

Seorang wanita mengandung anaknya. Kemudian menyusui anaknya. Kaum pria tidak mungkin melakukan hal itu. Itulah sunnatullah agar wanita selalu dekat dan mendidik anak-anaknya. Tamu bulanan bagi wanita bisa jadi agar wanita senantiasa tinggal di rumah jika tak ada keperluan penting.

Tentu saja saat semua kewajiban sudah dilaksanakan para wanita, tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukan aktivitas lainnya.

Di zaman Nabi bahkan ada beberapa wanita yang ikut berperang meski umumnya adalam membantu memberi makan dan minum serta mengobati prajurit yang terluka. Oleh karena itu saat Barat mengelu-elukan Florence Nightingale (lahir di Florence, Italia, 12 Mei 1820), yang jadi perawat mengobati tentara yang terluka, ternyata Islam telah lebih dulu melakukannya. Islam melakukannya 1100 tahun lebih awal!

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah saw. pernah berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa orang kaum wanita Ansar. Ketika beliau sedang bertempur, mereka membantu memberi minum serta mengobati para prajurit yang terluka. (Shahih Muslim No.3375)

Bahkan ada pula wanita yang terjun langsung berperang melawan musuh seperti Ummu ‘Umarah di dalam perang Uhud. Ummu Hakim bahkan membunuh tujuh orang Romawi dengan tiang kemah di jembatan yang hingga sekarang dinamakan jembatan Ummu Hakim di dalam perang Ajnadin.
Saat kita membaca biografi ibu Kartini mungkin kita beranggapan seolah-olah Islam melarang wanita menuntut ilmu setinggi mungkin. Toh akhirnya ke dapur juga tempatnya. Itu adalah pandangan adat. Bukan Islam. syiarislam.wordpress.com